Kisah Survival: Saya Jatuh di Lereng Gunung Semeru #2
Cerita ini merupakan lanjutan dari 'Kisah Survival: Saya Jatuh di Lereng Gunung Semeru #1' dari sudut pandang 'Pung' alias Tri Purwanto yang secara heroik menerabas hutan, turun gunung, tanpa membawa bekal makanan untuk mencari bantuan demi temannya, Haryo Suseno yang tengah sekarat.
NYARIS TERCEKIK GUNUNG SEMERU
Pengalaman kami berdua di Gunung Semeru yang lalu, sungguh menjadi kenang-kenangan yang tak dapat kami lupakan. Kisahnya sebagian sudah ditulis Haryo Suseno dalam Intisari Juni yang lalu. Kali ini saya akan menceritakan perjalanan saya sendirian turun kepedalaman untuk meminta pertolongan. Pengalaman itu saya sajikan menurut catatan buku harian saya sendiri sebagai berikut.
Oleh : Tri Purwanto (Pung)
Selasa, 5-8-1969. Harjo jatuh.
Pagi hari, kira-kira pukul 07.00 kami (masih berdua) sudah berhasil menuruni jurang air terjun yang cukup dalam dan seram. Peralanan tetap menurut rencana semula yaitu menyusur Sungai Aran-aran. Perbekalan makanan sudah limit. Sampai siang kami tidak makan, kami masih harus berhemat.
Lebih kurang pukull 14.00 Harjo jatuh terpeleset. Saya jadi bingung tidak keruan. Tak terduga sama sekali. Saya berteriak-teriak memanggil Haryo, namun sia-sia. Saya coba turun dengan tali. Setengah jam lebih baru berhasil. Ternyata Haryo masih hidup. Dia tidak sadar karena hentakan yang begitu mendadak. P3K seperlunya saya berikan. Tulang paha kanan Haryo patah. Untung tidak mencuat keluar. Segera saya membuatkan tenda darurat, mencari kayu untuk persediaan malam, mengatur barang-barang perlengkapan dan lain-lain. Haryo sering merintih kesakitan, namun belum ingat apa yang telah terjadi. Cuaca malam amat dingin. Saya membuat api unggun.
Baca juga: Teknik Membuat Api Tanpa Korek Api
Malam itu saya putuskan bahwa saya harus keluar dari jurang itu dan pergi minta bantuan. Memang benar tak mungkin lama-lama tinggal disitu apalagi makanan habis. Saya berjanji dengan Haryo bahwa 2 atau 3 hari lagi akan segera kembali. Harjo tak dapat tidur rupanya karena menahan sakit.
![]() |
Haryo (kiri) berpose di sungai berjurang. Pung (kanan) menulis diari di puncak Semeru. |
Rabu, 6-8-1969, Pung pergi.
Pukul 07.30 saya pergi meninggalkan Haryo. Saya hanya membawa perlengkapan yang perlu-perlu saja. Peta dan kompas tidak lupa. Bekal makanan semua saya tinggalkan untuk Haryo. Senjata api tak ada sama sekali namun saya tetap percaya.
Tindakan saya benar-benar perbuatan nekad.
Saya tetap berjalan seperti rencana semula yakni menyusur sungai. Ayunan langkah pertama benar-benar berat sekali. Baru saja berjalan 5 menit sudah harus menuruni jurang air terjun.
Sampai pada pukul 16.00 hari itu, saya berhasil menuruni empat air terjun. Dan tak saya duga bahwa ini mungkin. Semuanya rupanya hanyalah karena terpaksa. Malam itu saya tidur didekat air sungai. Terasa seperti anak yang hilang saja.
Sudah sampai malam rasanya belum juga terasa lapar, hanya pikiran saya yang masih kacau.
Kamis, 7-8-1969. Sama-sama berjuang.
Udara pagi masih dingin. Suasana baru. Saya mencoba naik tebing. Jemu rasanya bergumul dengan air dan jurang-jurang air terjun.
Tambahan lagi ngeri. Tetap kupaksa kucoba…… Naik…. Naik……..Terjebak.
Persediaan air habis. Terpaksa turun lagi.
Hari itu saya hanya berhasil menuruni tiga jurang air terjun saja. Saya sudah benar-benar lelah. Medan setempat masih sama. Seperti kemarin-kemarin, masih bersemak-semak lebat, gelap terang berselang-seling, tebing-tebing labil mudah longsor, aliran sungai yang berkelok-kelok menyusup-nyusup tebing-tebing dan lain sebagainya. Malam itu saya tidur diatas tebing batu, tempat yang lebih aman dari gangguan binatang buas.
![]() |
Peta pendakian yang di buat oleh Haryo Suseno. |
Jum’at, 8-8-1969. Pantang putus asa.
Kurang lebih pukul 03.00 saya mulai bergerak lagi.
Dengan sisa tenaga yang masih ada saya tetap mencoba bertahan, Terus maju, pantang mundur. Dalam perjalanan sering tercium bau-bauan yang amat spesifik; sehingga sering membuat bulu roma berdiri. Ngeri rasanya. Pada masa-masa kritis saya hanya dapat berdoa saja. Pukul empat sore seperti biasanya, saya berhenti. Saya tidur di sela-sela batu besar di dekat air.
Baca juga: 8 Cara Membuat Tenda Darurat denga Jas Hujan / Poncho
Sabtu, 9-8-1969. Makan batang nipah & umbi gatal.
Sudah beberapa hari tidak makan.
Tubuh semakin lemas; sehingga saya harus lebih berhati-hati apalagi bila turun jurang. Sambil jalan, kumakan jenis daun-daunanan yang masih muda. Kira-kira tidak membahayakan langsung dimakan tanpa rebus segala.
Sambil menengok kakanan dan kekiri, mata saya tertarik akan pohon nipah (?) ( seperti pohon jambe begitulah). Kemudian saya tebang dan makan batangnya. Aiiii ………Benar juga ……. Manis………..manisnya seperti tebu. Makan sepuas-puasnya hingga kenyang. Yah walaupun air saja, namun manis karena kadar glukosanya tinggi. Terasa badan lebih kuat lagi. Jalan lagi. Untuk persediaan makanan nanti saya cari umbi-umbian. Satu demi satu dikumpulkan.
Baca juga: Ciri-Ciri Tanaman Beracun
Perjalanan masih harus melewati banyak rintangan lagi. Sehari itu saya menemui tiga buah air terjun. Kira-kira pukul 11.00 umbi-umbian saya rebus. Merebus sambil istirahat agak panjang. Saya pikir, pasti enak dimakan. Baru saja saya makan dua-tiga gerakan gigi saja…. Aduuuuuh kecewanya bukan main… semua bagian mulut serta kerongkongan gatal bukan main. Segera cepat-cepat berkumur dan minum banyak-banyak. Dengan agak berlari saya lanjutkan lagi perjalanan.
Ganti haluan naik tebing, akhirnya berhasil sampai punggungnya, dan disitu pula saya bermalam.
Minggu, 10-8-1969. Sampai dikampung.
Kira-kira pukul 07.00 saya bergerak lagi.
Kali ini sudah mulai menyusur ‘punggung‘. Peta dan kompas serta teropong benar-benar membantu perjalanan saya. Perjalanan masih harus menembus hutan-hutan, semak-semak belukar, naik-turun menyeberang jurang dan sebagainya, namun sudah tidak seperti hari-hari yang lalu. Siang itu amat panas. Air habis. Selalu haus rasanya. Kini jauh dengan sungai. Tempat- tempat lembab menjadi sasaran saya, walaupun hanya tetes-tetesan air saja. Berjalan menengok kekanan dan kekiri tampak samar-samar ada suatu perkampungan. Tidak padat penduduknya rupanya. Sambil jalan saya pungut daun-daun muda sebagai pengisi perut.
Akhirnya sampai juga ke suatu kampung yang menurut perkiraan, sesuai dengan peta, adalah desa Jajang. Sampai dimuka pintu sebuah rumah, saya jatuh pingsan. Saya ditolong orang kampung. Tenyata kampung kecil itu desa Magersari termasuk wilayah Jajang. Saya menceritakan keadaan kami. Mereka terkejut setelah mendengar bahwa kami hanya berdua saja dan kini Haryo berada di jurang. Suasana di kampung itu benar-benar tampak prihatin sekali akan keadaan kami berdua. Malam itu saya selalu gelisah dan tak dapat tidur.
![]() |
Pung, selalu menulis dimanapun berada. |
Senin, 11-8-1969. ‘Pasukan’ disiapkan.
Paginya saya diantar ke Bapak Martini (Kamitua desa Jajang). Dan siang itu telah disiapkan suatu pasukan (penduduk setempat) untuk menolong kami berdua. Kira-kira 20 orang termasuk saya segera berangkat ke tempat Haryo berada. Perjalanan kami lancar sekali.
Badan saya masih lemah namun saya kuat-kuatkan. Kira-kira pukul 17.00 di dalam pasukan itu timbul suatu masalah ; yaitu soal bekal makanan yang tidak kami siapkan. Setelah matang dibicarakan maka terpaksa perjalanan tidak diteruskan, kami mundur pulang. Kami langsung menuju ke Kamitua-nya minta bekal makanan. Sayang tidak ada. Semua diam sejenak.
Pada pikiran saya, ada rencana minta bantuan AURI di Surabaya. Namun demikian saya masih mengharapkan pertolongan orang-orang kampung. Mereka tetap niatnya akan membantu kami sampai Haryo ketemu. Mereka menyarankan pula agar saya tidak jauh-jauh ke Surabaya tetapi lebih baik ke Malang saja ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.
Saya sangat berterima kasih kepada mereka.
Mereka akan berusaha sekuatnya pula menuju ketempat Haryo berada dengan mengikuti jejak-jejak yang telah saya buat selama berjalan hari-hari yang lalu.
Malam itu saya tidur di Jajang.
Baca juga: Mengenal Macam-Macam Tanda Jejak
Selasa, 12-8-1969. Ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.
Pagi harinya, saya ke Wates dengan diantar oleh salah seorang dari kampung. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki. Tiba di Wates kira-kira pukul 10.00.
Perjalanan diteruskan lagi dengan naik dokar ke Tumpang. Tiba di Tumpang kira-kira pukul 11.00. Kemudian dengan sebuah taxi saya menuju ke Pangkalan. Kami langsung menghadap Bapak Kolonel E. Soemarto (beserta staf). Saat itu pukul 12.30.
Laporan saya mendapat perhatian besar sekali. Dan siang itu juga dikirim satu regu KOPASGAT ke Poncokusumo dan terus ke Magersari. Dilakukan pula peninjauan dari atas dengan pesawat udara.
Untuk sementara saya harus tinggal dahulu di Pangkalan. Saya tidur di Mess AURI.
Malam itu saya tidak dapat tidur. Pikiran masih terkenang kepada Haryo saja.
Rabu, 13-8-1969. Di Pangkalan.
Pukul 08.00 saya datang ke kantor Pangkalan untuk di interview. Hampir semua orang di Pangkalan mengetahui usaha-usaha AURI dalam hal ini. Mereka sangat prihatin juga tampaknya.
Pukul 10.30 saya bersama Bapak Kapten Roesmali naik pesawat Harvard (?) untuk meninjau di mana kira-kira tempat Haryo berada.
Ternyata masih terlalu jauh dan pesawat rupanya sudah terlalu maximum naiknya serta kabut sudah mulai menyerang. Sehingga terpaksa kami turun kembali. Tetapi yang terang bagi sang pilot sudah mengetahui desa Magersari yang kelak menjadi suatu pos yang dapat untuk apa-apa misalnya untuk tempat dropping dalam usahanya untuk menolong kami berdua.
Kian lama kian gelisah sebab sampai sore hari belum ada kabar dari Regu KOPASGAT yang dikirim siang kemarin.
![]() |
Pung memandang pemandangan di bawah, di sela-sela batu Puncak Semeru. |
Kamis, 14-8-1969. Kembali ke Magersari.
Pagi saya bersiap-siap akan ke Magersari lagi. Saya dikirim kesana bersama bahan-bahan makanan.
Pukul 14.00 saya ke Malang dulu perlu belanja.
Dengan kendaraan jeep saya terus menuju ke desa Poncokusumo. Kami terus diantar (jalan kaki) ke desa Pandansari.
Saya disambut dengan rasa terharu oleh orang kampung setempat, lebih-lebih Bapak Lurah. Malam itu pula kami diantar ke Magersari. Tiba disana kira-kira pukul 22.00 (pukul 10 malam).
Kedatangan saya disambut oleh Regu KOPASGAT yang dipimpin Bapak Sujono.
Malam itu kami semua membuat rencana keberangkatan untuk esok hari menuju ke tempat Haryo berada.
Saya sendiri tak dapat tidur nyenyak akibat pikiran yang masih kacau.
Jum’at, 15-8-1969. Ke tempat Harjo.
Pukul 07.00 satu regu baru yang terdiri atas sembilan orang-orang kampung, satu anggota KOPASGAT (Bp. Kamarudin) dan saya sendiri bergerak menuju tujuan.
Perjalanan dilakukan melalui punggungan bukit dan tidak melalui lembah sungai.
Lancar sekali perjalanan kami. Menembus hutan, semak-semak dan membuat jalan di- gunung, orang-orang kampung sudah terlatih benar.
Naik turun jurang, memanjat pohon dulu bila perlu. Maju terus pantang mundur.
Akhirnya kami sampai di tempat Haryo berada.
Saat itu lebih kurang pukul 18.00 Haryo masih dapat bertahan.
Pertemuan kami berdua sungguh berkesan sekali. Kami gembira sekali. Malam itu kami semua beramai-ramai bersuka-ria sambil berapi unggun.
Sementara itu 2 orang pulang memberi kabar ke pos Magersari serta minta bantuan lagi.
Sabtu, 16-8-1969. Turun ke Magersari.
Pagi-pagi kami semua bekerja. Membuat dragbar untuk mengangkut Haryo, menyiapkan jalan untuk lewat dan lain-lain. Pukul 03.30 kami siap berangkat.
Perjalanan kami amat pelan, sebab harus lebih berhati-hati. Jalan kadang-kadang sulit dilalui. Sore hari, kira-kira pukul 17.30, kami istirahat di tepi sungai. Membuat api unggun sekedar penghangat tubuh.
Malam itu sangat dingin.
Sampai malam belum juga ada bantuan datang.
![]() |
Bersama keluarga Pak Jaet. |
Minggu, 17-8-1969.
Pukul 07.30 datang rombongan baru. Mereka membawa makanan untuk kami. Haryo mendapat perawatan, yang lebih sempurna.
Pukul 09.00 kami bergerak lagi. Saya sendiri jadi pasien juga akhirnya.
Lebih kurang pukul 15.00 sampai disuatu Pos dan istirahat. Saya disambut oleh Pak De yang datang dari Jakarta. Perjalanan diteruskan lagi.
Akhirnya kami sampai di Magersari dan disambut oleh Bp. Sujono Komandan Regu KOPASGAT beserta seluruh penduduk setempat dengan rasa terharu. Saat itu pukul 18.00.
Tepat tanggal 17-8-1969 kecuali hari peringatan Proklamasi juga tanggal tepat kami berdua ‘hidup lagi’ setelah berhari-hari kami terkurung dalam tubuh Gunung Semeru.
Kami serombongan terus ke Pandansari. Sepanjang jalan penuh sesak oleh orang-orang yang ingin melihat kami. Kami istirahat ditempat Bp. Lurah.
Pukul 23.00 kami segera ke Poncokusumo dengan mobil-mobil AURI. Kami bertemu juga dengan Bapak Brigjen Sunitioso (ayah Haryo) yang memang menjemput kami.
Mobil langsung ke Pangkalan. Tiba disana pukul 00.30 (malam hari).
Rontgen Haryo jelas menunjukkan patah tulang pada paha kanannya.
Tak diduga, Tatok seorang rekan anggota MERMOUNC ada disitu juga. Kami hanya saling senyum-senyum saja.
Selanjutnya Haryo dibawa ke RST Malang hingga selesai opnamenya.
Kami tinggal di Malang beberapa hari untuk membereskan perlengkapan kami yang telah kocar-kacir dalam perjalanan pulang itu.
Begitulah pengalaman saya sejak meninggalkan Haryo seorang diri sampai ketemu kembali dengan selamat.
Saat-saat kritis senantiasa mengintai kami waktu itu, namun dengan iman serta semboyan ‘TAN LALANA’ lah semua selesai dengan sendirinya.
Sumber:
Majalah Intisari No. 87 Tahun 1970
survivalskillsindonesia.wordpress.com
Youtube / Jari Seni

Tidak ada komentar