Kisah Survival: Saya Jatuh di Lereng Gunung Semeru #1
Jauh sebelum Gunung Semeru menjadi 'objek wisata massal' seperti sekarang ini, dan hanya selang beberapa minggu sebelum kabar Soe Hok Gie meninggal dunia di Gunung Semeru, pada bulan Agustus tahun 1969 ternyata terdapat sebuah kisah bertahan hidup yang luar biasa dan bisa di bilang heroik dari dua orang pemuda pecinta alam yang beradu dengan maut di lereng Gunung Semeru, yang bernama Haryo Suseno dan Tri Purwanto (Pung).
Jangan di bayangkan bahwa mendaki Gunung Semeru pada jaman dahulu itu mudah dan singkat lur! Dua orang survivor ini harus berjalan kaki hampir satu minggu lamanya untuk dapat menaklukan puncak Mahameru. Mereka berjalan sambil mbabat alas alias membuka jalur dari semak belukar yang sangat rimbun. Pokoknya kisah pendakiannya sungguh luar biasa. Sambil baca sambil sruput kopi lur!
Cerita Haryo Suseno Jatuh ke Lereng Gunung Semeru
(Sumber majalah Intisari No. 83 tahun 1970)
![]() |
Bendera Mermounc dengan semboyannya 'Tan Lalana' yang berarti 'Pantang Putus Asa'. |
Kami hanya berangkat berdua, saya sendiri dan seorang teman di club pendaki kami MERMOUNC (Merbabu Mountainner Club). Tujuannya adalah untuk membuktikan pada teman-teman lain bahwa kita sebagai pemuda pendaki sudah selayaknya dapat menggunakan peralatan seperti kompas, peta, menentukan tindakan dan mengambil konsekuensi serta tanggung jawab dalam sebuah rencana pendakian. Bukan hanya menyerahkan perjalanan kepada seorang penunjuk jalan atau yang lainnya dimana biasanya sebuah team tinggal mengikuti saja ‘jalan raya’ yang sudah ada.
Saya berangkat dari Jogja tanggal 25/7-'69 bersama seorang kawan: Pung (Tri Purwanto). Sebagaimana dengan pendakian yang lain, kami membawa perlengkapan perkemahan, alat memasak, alat dokumentasi seperlunya, peta, kompas, teropong, pisau, perlengkapan P3K dan perlengkapan mountaineering seadanya.
Baca juga: Survival Kit Yang Wajib Dibawa Saat Mendaki Gunung
Saya katakan seadanya disini karena kami hanya dapat membawa apa yang kami punyai, yang sungguh jauh daripada lengkap. Sepatu yang saya pakai hanya sepasang sepatu dengan sol karet beralur dimana seharusnya hanya merupakan sepatu kerja pada lantai kasar atau tanah biasa.
![]() |
Haryo berfoto dengan anak Rawa Bawang. |
Perjalanan secara singkat adalah sebagai berikut:
Tanggal 25/7-’69. Rencana pokok pendakian, peralatan. Pukul 23.00 kami sampai di Surabaya dengan kereta api dari Jogja. Dengan taksi, kami tiba di Malang pukul 01.00.
Tanggal 26/7-‘69. Disini kami menanyakan kepada orang-orang yang kami anggap datang dari desa tentang jalan ke Semeru menurut pengetahuan mereka. Beberapa orang memberikan keterangan, menyarankan beberapa desa sebagai pangkalan pendakian. Tak ada yang sesuai dengan rencana kami. Akhirnya kami tetapkan akan melalui daerah Selatan, yaitu Turen.
Ternyata keadaan sangat merugikan perjalanan kami kalau ke Semeru melintasi Turen. Kami pun menggeser ke arah timur, ke Dampit. Masih mengarah ke daerah lintasan lava dan kawah Semeru. Geser ke Timur lagi, ke Kalibening. Kami melapor ke kecamatan dan Koramil. Mendapat penjelasan, bahwasanya lava juga mengarah ke selatan, sedangkan kami tepat berada di Selatan dari puncak Semeru. Waktu saat ini adalah hari Sabtu pukul 07.30 pagi.
Malam ini kami menginap di desa Rawabawang yang terletak di utara Kalibening untuk melihat situasi turunnya lava pada malam hari. Kesimpulannya: lava turun mengarah ke Barat Daya sampai ke Selatan, menyebar dan melintas sampai ke batas hutan. Kecepatan lava turun sangat mengagumkan.
![]() |
Foto bersama masyarakat kampung Rawabawang. |
Tanggal 27/7-’69, Minggu. Saya Sempat ke gereja di Kalibening, sebagian penduduk disini beragama Kristen. Dari percakapan dengan orang-orang disini kami mendapat keterangan yang cukup tentang rute yang akan kami tempuh.
Keputusan: Menggeser jalur awal sampai ke Tenggara baru kemudian mendaki. Pada siang hari kami mulai berjalan menuju desa Kamar A di Tenggara Semeru. Beban pertama dengan bahan makanan untuk 10 hari, Seberat masing-masing 25 Kg (diluar berat air). Sering istirahat. Pukul 06.00 mencapai desa Kamar A – Kebon Tawang. Pukul sembilan malam mendirikan kemah istirahat.
Tanggal 28/7-’69, Senin. Mengisi air, masing-masing 7 liter, dan mulai mendaki. Jam 11.00 kami sampai pada batas perkebunan-hutan. Di tepi hutan itu hanya ada dua pondok kecil yang di huni oleh dua keluarga kecil. Kami berdua numpang memasak nasi pada salah satu pondok kecil tersebut. Tempat itu sangat terpencil. Kepala keluarganya bernama pak Djaet. Bagaimana keluarga kecil ini berhubungan dengan dokter, pasar, dll. kami hanya menarik nafas panjang saja.
Pukul 14.00 siang kami mulai menembus hutan. Mulai menggunakan kompas dan memakai naluri penembusan hutan, daerah yang belum pernah dibuat jalan tembusan sebelumnya. Semak-semak cukup lebat. Pohon-pohonnya setinggi 10-12 meter.
Baca juga: Mengenal Dasar Arah Mata Angin
Pukul 16.30 berhenti berjalan – kami telah menempuh ± 800 M dengan sedikit-sedikit menggeser ke Timur, kami dirikan tenda, memasak dsb, istirahat.
![]() |
Dua rumah kecil di perbatasan hutan. |
Tanggal 29/7-’69, Selasa. Pukul 08.00 mulai berjalan. Semangat penuh, kondisi baik. Menembus hutan yang mulai makin lebat. Pohon-pohon lurus tinggi dan daun mengembang diatas menutupi cahaya. Cahaya matahari sangat sedikit, semak semakin lebat. Kami berjalan sampai pukul 16.00 sore, kemudian mendirikan tenda. Udaranya sangat lembab.
Tanggal 30/7-’69, Rabu. Pukul 08.00 kami mulai berjalan lagi. Keadaannya masih sama. Kami menemukan sungai batu dengan pasir-pasir berair dan mengisi kembali persediaan air minum. Berkemah di hutan lagi. Keadaan menyenangkan. Banyak kayu kering. Pohon-pohon kira-kira 20 meter tingginya.
Tanggal 31/7-’69, Kamis. Kami berangkat seperti biasa. Semak-semak semakin lebat. Kami terus mengarah ke sisi lereng Timur untuk menemukan lintasan pasir dari puncak. Kali ini perjalanannya sangat payah. Satu jam hanya melaju kira-kira 30 - 50 meter saja. Benar-benar merintis jalan dengan membelah semak-semak yang sangat rapat dan berjalin-jalin setinggi kira-kira dua meter.
Pohon-pohon mulai pendek, kira-kira tiga sampai lima meter, cahaya masuk seperti biasa. Tempat yang sudah kami buka (semak) untuk jalan, langsung menjadi terang. Kurang lebih pukul 16.00, kami menemukan celah sempit berbatu yang agak bebas dari semak. Kami mengikuti celah itu, keatas dengan cepat, lalu memotong ke kanan. Kira-kira pukul 16.30 kami sudah mencapai batas hutan dan pasir. Disitu kami istirahat sambil mempersiapkan makan dan pakaian hangat karena suhu sudah mulai dingin.
Sekitar pukul 20.00 malam, bulan mulai menampakkan dirinya. Medan pasir terlihat jelas, kemiringannya antara 30 - 40 derajat. Kami mencapai lereng dengan bongkah besar, dan bermalam tanpa tenda. (sambil melihat ke Utara, besok kami harus menyeberang lereng kira-kira 200 meter).
Tanggal 1/8-’69, Jum’at. Kami menyeberang lintasan pasir sambil diiringi oleh hujan batu selama kira-kira lima jam dan berhasil mencapai lereng Timur (yang batu-batunya lebih stabil) dengan selamat meskipun sangat kepayahan. Disitu kami istirahat satu jam lalu meneruskan perjalanan langsung mengarah puncak. Kami tepat dari arah 90 derajat Timur. Pukul 16.30 berhenti, udara sangat dingin, sekitar 4°C. Kami tidur dalam beberapa lapis pakaian di celah-celah batu besar yang kami temukan. Sama sekali tidak bisa mendirikan tenda. Ketinggian saat ini sekitar 3000 meter.
Tanggal 2/8-69. Sabtu. Mencapai puncak. Akhirnya kami mencapai puncak!! dengan ketinggian ± 3676 m pada pukul 12.00 siang. Pukul 14.00, kami mulai turun ke arah utara. Tidur di hutan. Rumput-rumputnya sangat tinggi, pohon-pohon pinus merkusii-nya rendah dan jarang. Air kami sudah habis.
![]() |
Berada di puncak Mahameru dengan kawahnya yang berasap. |
Tanggal 3/8-’69. Minggu. Kami meneruskan menembus hutan belukar ke bawah (utara) sampai di lembah yang sempit. Mulut dan kerongkongan rasanya sudah kering sekali. Pukul 15.00, kami menyusuri pangkal sungai Aran-aran, dan langsung membelok ke arah barat (270 meter), menyusuri lembah sungai Aran-aran yang masih berdasar pasir kering. Ketinggian saat ini sekitar ± 2350 M.
Pukul 16.00 kami menemukan lapisan lumut di sebuah tebing batu yang porous, kami dapat menapis air disini. Malam hari kami berjalan terus selama jalannya dapat dilalui. Sungai mulai berair (kami temui pukul 21.00 malam). Pukul 22.00 malam menuruni air terjun pertama (kecil sekali) dinding batu tegak setinggi 6 meter. Bermalam di tepi sungai.
Baca Juga: Cara Mendapatkan Air Dari Tumbuhan
Tanggal 4/8-’69, Senin. Kami berjalan melewati beberapa air terjun yang ketinggiannya sekitar 5 - 15 meter. Kami gunakan tali-tali dimana diperlukan. Tidur malam kali ini nyenyak sekali karena sudah sangat lelah.
![]() |
Sungai-sungai berbatu yang berjurang terjal. |
Tanggal 5/8-’69, Selasa. Hari dimana saya terjatuh. Kami sampai pada sebuah air terjun dengan dinding yang miring tajam dan bawahnya tegak lurus. Tali kami yang panjangnya 26 meter tidak dapat mencapai dasar air terjun. Kami putuskan untuk merangkak pada dinding yang curam itu, menuju tempat yang lebih baik untuk turun. Saya berada didepan. Pada saat merambat, saya terpeleset karena ada longsoran kecil dan terlepas jatuh kebawah, setelah melewati batas miring lalu jatuh bebas, kira-kira 15 meter, dan pingsan. Untung saja Pung selamat, untuk kemudian memberikan pertolongan sebisanya. Tulang paha kanan saya patah hancur, untung tidak ada luka luar. Tenda didirikan di tepi sungai.
Baca juga: Kecelakaan Fisik di Lapangan dan Cara Mengatasinya
Tanggal 6/8-’69, Rabu. Pung berangkat untuk mencari pertolongan, saya ditinggalkan di tempat dalam keadaan sangat pusing, tidak bisa bergerak bebas karena tulang patah hancur pada paha kanan terkena batang cemara yang tumbang sewaktu jatuh. Pung meninggalkan bahan makanan yang tersisa hanya cukup untuk satu hari, dia tinggalkan seluruhnya dengan pesan supaya diulur (diperpanjang, dihemat) sampai paling tidak tiga hari. Pung sendiri tidak membawa makanan, hanya perlengkapan darurat, peta/kompas, serta tali-talian. Saya sendiri terus tidur nyenyak sampai pagi.
![]() |
Skestsa lokasi jatuhnya Haryo Suseno. |
Tanggal 7/8-’69, Kamis. Bangun, mata berkunang-kunang, apapun yang terlihat tampak serba dua, karena sangat pusing, akhirnya saya tertidur lagi.
Tanggal 7/8-’69. Jumat. Makan pertama sesudah 2 hari tidak makan/minum. Sepertiga dari ransum ditambah air mentah sekenyangnya.
Tanggal 9/8-’69, Sabtu. Makan kedua, dan minum air sungai sekenyangnya.
Tanggal l0/8-’69, Minggu. Makan sisa makanan yang ada, mata sudah normal, tapi masih pusing, banyak tidur.
Tanggal 11/8-’69, Senin. Merebus dedaunan yang bisa dimakan yang dapat dicapai dengan tangan dan tongkat.
Tanggal l2/8-’69, Selasa. Hanya minum air, dengan perhitungan penghematan daun-daunan yang bisa dimakan.
Tanggal 13/8-’69, Rabu. Masak daun-daunan tanpa garam atau bumbu-bumbu lain. Semua sudah normal. Mata melihat terang, tidak pening, dan dapat berpikir normal.
Baca juga: Cara Menguji Apakah Tanaman Liar Dapat Dimakan
Tanggal 14/8-’69, Kamis. Sudah satu minggu lebih, lewat waktu yang Pung tentukan sendiri. Kembali menghemat daun-daunnan. Mulai ragu-ragu apakah Pung berhasil atau dia sendiri mengalami kecelakaan.
![]() |
Haryo terkapar, tulang paha patah, kepala pusing berkunang-kunang, tak ada tenaga. |
Tanggal 15/8-’69, Jumat. Pung Kembali. Saya merasa sangat gelisah, akhirnya memutuskan untuk mencoba bergerak sendiri. Ini hari ke 10 saya ditinggalkan di air terjun ini. Tapi ternyata setelah semua siap, kaki sangat sakit untuk digerakkan. Hanya bisa menggeser beberapa meter dari tenda. Saya kembali lagi, menggagalkan rencana semula dan tetap menanti di tenda.
Sore pukul 17.30 ada tiga orang membuka tenda, lalu muncul lagi enam orang temasuk rekan saya sendiri: Pung. Tambah lagi satu orang anggota Kopasgat dan seorang anggota Polisi Kehutanan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya sehabis sembilan hari kelaparan dan sendirian. *Kopasgat: Komando Pasukan Gerak Tjepat (Sekarang dikenal sebagai Korps Pasukan Khas TNI AU / Kopaskhas).
Tanggal 16/8-69, Sabtu. Bergerak pulang. Kaki yang patah dijepit dengan papan kayu cemara yang dibuat secara darurat, dibalut dengan kain-kain, paling luar kain tenda, lalu dipikul dengan batang kayu cemara pula. Setiap air terjun diturunkan dengan tali-tali. Agak ngeri juga. terlebih saya kini dalam keadaan tak dapat bergerak sama sekali. Malam hari masih belum bisa mencapai desa. Masih sepertiga perjalanan karena beratnya medan. Besok direncanakan dapat menyelesaikan seluruhnya.
Saya dan Pung, beserta enam orang lainnya menginap di sebuah dataran air terjun yang indah, kiri kanan tebing ditumbuhi pohon-pohon dengan semak-semak semacam anggrek tanah. Kopasgat, Polisi Kehutanan dan yang lain mendahului untuk memberi berita kepada rekan-rekan lain yang menunggu di desa Magersari.
![]() |
Haryo Suseno, saat perjalanan baru dimulai. |
Tanggal 17/8-’69, Minggu. Kembali keperadaban. Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh datang dua orang petugas kesehatan Kopasgat. Kemudian berangkat lagi. Kali ini banyak yang menolong. Ada beberapa orang lagi dan Pasgat yang dikirim. Kami mencapai Desa Magersari pada sore hari, diteruskan ke Desa Pandansari. Ditempat yang memungkinkan untuk lewat kendaraan, kami dijemput oleh sebuah ambulans dan diteruskan ke rumah sakit (sampai Kota Malang sekitar jam 11.30 malam).
Ini adalah pendakian yang paling panjang yang pernah kami lakukan. Saya sendiri semula memperkirakan keseluruhan perjalanan hanya memakan tujuh hari, ternyata untuk mencapai puncak adalah hari kesembilan. Dan dari tanggal 25/7 sampai dengan tanggal 17/8-’69 adalah 24 hari.
Bersambung ke -> Kisah Survival: Saya Jatuh di Lereng Gunung Semeru #2 - Sudut Pandang Pung (Sedang dalam penulisan)
Sumber:
Majalah Intisari No. 83 Tahun 1970
survivalskillsindonesia.wordpress.com
Youtube / Jari Seni

Tidak ada komentar